Kalau Mau Masuk Surga, Jangan Kampungan
Menurut saya, istilah kampungan cenderung diskriminatif dan merendahkan orang kampung, karena sifat kampungan tidak melulu disandang oleh orang kampung, tetapi bisa juga oleh orang kota.
Menurut kepercayaan yang sudah turun-temurun, istilah kampungan berkaitan erat dengan kebiasaan orang kampung yang dianggap terbelakang alias belum modern, kolot, ketinggalan jaman, ndeso, dan lain sebagainya. Dari sini kita bisa menilai bahwa dengan memiliki latar belakang sebagai orang kampung, sangat rawan menjadi korban penyematan label negatif bernama kampungan. Padahal orang kota pun kalau berkunjung ke kampung sangat mungkin melakukan suatu kesalahan yang tidak sesuai norma masyarakat setempat.
Saya tahu kala itu si boss sebenarnya bermaksud memotivasi saya agar lebih cepat berkembang dan menyesuaikan diri dengan lingkungan. Saya sama sekali tidak keberatan dengan cara si boss mendidik saya. Alih-alih menggugat ke pengadilan dengan pasal pencemaran nama baik, saya justru berterimakasih banyak atas didikan si boss sehingga saya bisa seperti sekarang ini. Apalagi nama (kelakuan) saya memang gak baik-baik amat, beneran, tanya Si Mamat. Namun yang saya kurang setuju adalah penggunaan istilah kampungan itu.
Berangkat dari ketidaksetujuan saya dengan istilah kampungan, sayapun iseng-iseng googling untuk mencari tahu tentang arti kata kampungan. Dan sayapun menemukan beberapa kata yang lebih mendekati kebenaran, setidaknya menurut saya, yakni tidak tahu sopan santun, tidak terdidik, dan kurang ajar. Saya kemudian menambahkan arti kata kampungan menurut versi saya sendiri yaitu arogan, sok modern, belagu, mentang-mentang, kejam, biadab, pelit, dsb...dsb...
Jika dilihat dari kata-kata yang saya tambahkan di atas, sifat tersebut jelas tidak hanya dimiliki oleh orang kampung, malah orang kota bisa jadi lebih kampungan dari orang kampung itu sendiri. Bukankah orang kampung kadang lebih tahu sopan santun dibanding orang kota?
Menurut kepercayaan yang sudah turun-temurun, istilah kampungan berkaitan erat dengan kebiasaan orang kampung yang dianggap terbelakang alias belum modern, kolot, ketinggalan jaman, ndeso, dan lain sebagainya. Dari sini kita bisa menilai bahwa dengan memiliki latar belakang sebagai orang kampung, sangat rawan menjadi korban penyematan label negatif bernama kampungan. Padahal orang kota pun kalau berkunjung ke kampung sangat mungkin melakukan suatu kesalahan yang tidak sesuai norma masyarakat setempat.
Saya jadi ingat saat pertama datang ke kota, boss saya sering meledek dengan istilah kampungan. Dikit-dikit kampungan, dikit-dikit kampungan. Telat baca koran dibilang kampungan, gak mahir nyetir mobil matic dibilang kampungan, bingung menggunakan toilet standar Amerika dicap kampungan (biasanya pake standar ameriki), susah mengenali wajah dan nama orang baru dibilang kampungan, gak hafal nomor telepon penting dibilang kampungan. Yaelah boss, jangankan nomor telepon ini itu, nomor hape saya sendiri aja saya gak hafal.
Saya tahu kala itu si boss sebenarnya bermaksud memotivasi saya agar lebih cepat berkembang dan menyesuaikan diri dengan lingkungan. Saya sama sekali tidak keberatan dengan cara si boss mendidik saya. Alih-alih menggugat ke pengadilan dengan pasal pencemaran nama baik, saya justru berterimakasih banyak atas didikan si boss sehingga saya bisa seperti sekarang ini. Apalagi nama (kelakuan) saya memang gak baik-baik amat, beneran, tanya Si Mamat. Namun yang saya kurang setuju adalah penggunaan istilah kampungan itu.
Berangkat dari ketidaksetujuan saya dengan istilah kampungan, sayapun iseng-iseng googling untuk mencari tahu tentang arti kata kampungan. Dan sayapun menemukan beberapa kata yang lebih mendekati kebenaran, setidaknya menurut saya, yakni tidak tahu sopan santun, tidak terdidik, dan kurang ajar. Saya kemudian menambahkan arti kata kampungan menurut versi saya sendiri yaitu arogan, sok modern, belagu, mentang-mentang, kejam, biadab, pelit, dsb...dsb...
Jika dilihat dari kata-kata yang saya tambahkan di atas, sifat tersebut jelas tidak hanya dimiliki oleh orang kampung, malah orang kota bisa jadi lebih kampungan dari orang kampung itu sendiri. Bukankah orang kampung kadang lebih tahu sopan santun dibanding orang kota?
Eniwei, orang kota jangan tersinggung ya, karena yang saya singgung di sini adalah mereka yang memiliki sifat negatif seperti yang saya tulis di atas. Bagaimanapun, sejak belasan tahun lalu saya juga telah resmi menjadi orang kota. Setidaknya sejak Kantor Catatan Sipil Kota Bogor secara resmi menerbitkan KTP saya.
Adapun orang-orang negatif yang lebih pantas disebut kampungan menurut versi saya antara lain:
- Tetangga yang jahat terhadap tetangganya.
- Orang yang suka buang sampah di sembarang tempat.
- Laki-laki yang merokok di area dilarang merokok. Kalo laki-laki saja gak pantas, apalagi perempuan.
- Orang Indonesia yang tidak cinta produk Indonesia, malah lebih bangga dengan produk impor. Tapi kalo dipikir-pikir salah pemerintah juga sih, kenapa membuat kebijakan yang cenderung berpihak kepada asing? Jadi sebenarnya pemerintah lebih kampungan daripada rakyat. Ah, itu kan kata kamu.
- Oknum pegawai kelurahan yang memungut bayaran tidak resmi saat melayani warga. Manusia jenis ini sudah pernah saya temui.
- Pengemudi yang manuver kiri-kanan seolah jalan milik mbahnya. Dia sih enak bisa selamat karena kelincahannya, tapi pengguna jalan lain bagaimana?
- Pejabat yang menyalahgunakan jabatan. Mentang-mentang berkuasa lalu semua dianggap hak miliknya, pokoknya bebas.
- Oknum polisi yang memungut bayaran dari pengendara yang melanggar lalu-lintas, katanya sih uang damai.
- Oknum TNI yang menyela antrian. Ini juga kampungan.
- Pejabat atau politikus yang berkoalisi dengan pihak asing untuk menjajah negerinya sendiri. Ini super duper kampungan. Tapi saya
gakyakin di negara kita gak ada politikus model beginian. - Artis yang sok sempurna sehingga bebas berprilaku semaunya di ruang publik. Mereka gak sadar bahwa prilaku negatifnya sangat berpotensi merusak generasi bangsa.
- Terakhir. Perempuan cantik yang mem-PHP laki-laki yang udah kebelet nikah, tapi giliran ditembak malah nolak mentah-mentah. Ditolak setengah matang aja sakitnya luar biasa, apalagi mentah-mentah. Ibarat kata baru mau ngomong pendahuluan udah dijawab NO. Dia pasti gak tahu bahwa cinta ditolak sakitnya tuh di sini :'(
Kesimpulan: Kalau mau masuk surga, jangan kampungan.
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
yups, setuju sama kampungan versi ente mas, :)
ReplyDeletemampir ke blog ku yuk di http://seo-paper.blogspot.com/2014/12/metland.html
Hehe..
Deletewaah versi kampungan menurut kamu bagus juga :)
ReplyDeleteMenurut Mba Defa gimana?
DeleteSiapapun, yang nggak bisa antri boleh banget dibilang kampungan :))
ReplyDelete