Bagaimana Saya Mengelola Emosi
Seorang teman bertanya, bagaimana saya mengelola emosi sehingga tidak mudah marah jika dibohongi, ditipu, diperlakukan tidak adil, atau bahkan dicaci maki?
Maklum, saya termasuk mudah dibohongi dan ditipu.
"Enak saja. Memangnya saya ini boneka yang ga punya perasaan? Saya ini manusia biasa, bisa marah juga."
"Bukan begitu. Maksud saya cara marahnya elegan, terhormat, bahkan kadang ga ketahuan."
"Oh, itu?"
Saya baru dengar ada istilah marah secara terhormat hehe..
Kalau hanya urusan sepele, biasanya saya mengkonversi amarah jadi humor.
Misalnya ketika kopi di meja saya tumpah dan nyaris merusak dokumen yang ada, dan celakanya tisu di meja habis (dihabisin orang). Saya cuma bilang kepada teman-teman, "Kalian itu kalau habis pakai tisu dilipat yang rapi dan masukkan lagi ke tempatnya."
Atau ketika baru tiba di rumah dalam kondisi lelah dan disambut istri yang cemberut karena saya lupa membeli pesanannya. Alih-alih merespon negatif, saya pura-pura saja menabrak pintu kaca, sambil (pura-pura) mengeluh, "Duh, hidung cuma segini-gininya pake kejedot pintu." Saya lirik sedikit ada yang berusaha menyembunyikan tawa. Gengsi dong, niat mau marah tiba-tiba tertawa.
Case closed.
***
Dulu saya juga pernah punya tabiat 'senggol bacok'. Kemudian saat pindah ke ibukota banyak yang menasihati untuk selalu hati-hati dan jangan mudah percaya kepada orang lain.
Awalnya saya pegang erat nasihat itu, hingga saya merasa ada yang kurang pas. "Bagaimana kalau semua orang berpikir seperti itu? Bawaannya saling mencurigai, alih-alih berpikir positif.
Akhirnya saya putuskan untuk mengubah pemikiran saya tentang orang lain. Karena pada dasarnya semua manusia itu baik, yang jahat adalah setan.
Saya menyetel pikiran saya secara default menganggap semua orang adalah baik, sehingga setiap orang yang berinteraksi dengan saya, jika ia laki-laki saya anggap saudara, dan jika ia perempuan akan saya ubah jadi laki-laki hehe..
Bercanda.
Tapi ini beneran. Saya selalu menganggap orang yang mau berhubungan dengan saya adalah saudara, termasuk teman-teman yang berinteraksi dengan saya melalui sosial media.
Masalah dia mau bohong, menipu, atau berbuat jahat terhadap saya, berarti dialah yang bermasalah.
Orang boleh mencibir atau memaki, sikap kita harus tetap santuy. Prinsip saya begitu.
Dalam satu perjalanan saya pernah dengar dari radio, seorang motivator bilang, "Orang-orang negatif yang suka mencibir atau memaki itu ibarat truk pengangkut sampah. Dia terus berusaha melemparkan sampah kepada orang lain karena isinya memang hanya sampah. Jangan mau menerima sampah itu. Sebisa mungkin kita mengelak. Atau jika terlanjur kena, ambil saja sampahnya lalu buang di tong sampah."
Beres, kan?
Sebagai manusia biasa, tentu saya juga bisa marah. Tapi saya sudah menetapkan poin-poin alasan untuk marah, yaitu:
Pertama, jika Islam, agama saya dilecehkan.
Kedua, jika kedaulatan negara diinjak-injak.
Ketiga, jika keluarga, saudara, dan orang-orang terdekat yang dalam perlindungan saya diganggu.
Selama itu menyangkut diri saya secara pribadi, saya berusaha tetap santuy.
Kalau hanya direndahkan atau dihina, memang saya bukan siapa-siapa, hanya seorang hamba yang hina dan penuh dosa. Ngapain marah?
Bahwa teko hanya mengeluarkan air sesuai kualitas isinya, itu benar. Orang yang mudah marah hanya karena urusan sepele, berarti dalam dirinya penuh dengan 'air keruh'.
***
Pada kesempatan ini saya sekaligu ingin menyampaikan permohonan maaf kepada teman-teman yang mungkin pernah membaca post atau komen saya yang kasar atau kurang pantas. Itu karena alasan poin kedua yang saya sampaikan di atas.
Terus terang akhir-akhir ini saya sering marah melihat kelakuan para pejabat negara yang khianat, menggadaikan kedaulatan negara. Berlomba meperkaya diri, membuat aturan yang menyengsarakan rakyat. Ini yang membuat saya marah. Ini urusan negara, jangan main-main!
Contoh paling nyata tentang kasus bisnis pisi'ar di tengah penderitaan rakyat. Biadab banget, bukan? Saya melihat muka pejabat kayak gitu bawaannya pengen saya uleg kayak rujak fiyuh!
Duh, kok jadi curcol hehe..
Abaikan.
***
Btw, saya ada rekomendasi buku bagus untuk belajar mengelola emosi, yaitu "Berpikir dan Berjiwa Besar" karya David J. Schwartz dan "Bagaimana Mencari Kawan dan Mempengaruhi Orang Lain" karya Dale Carnegie.
Keduanya buku lama dan sudah saya baca berulang, lalu dipinjam teman dan tak pernah kembali hehe..
Ga masalah. Yang penting bukunya bermanfaat.
Sapeda.
Salam Penuh Damai.
No comments :
Post a Comment